Beranda | Artikel
Syahadat Laa Ilaha Illallah
Selasa, 20 Maret 2012

Pembaca rahimakumullah, syahadat laa ilaha illallah adalah cabang keimanan yang tertinggi. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu terdiri dari tujuh puluh lebih atau enam puluh lebih cabang. Yang paling utama adalah ucapan laa ilaha illallah, yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Iman [9] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [35], lafal ini milik Muslim)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan bahwa yang paling utama di antara semua cabang itu adalah tauhid; yang hukumnya wajib atas setiap orang, dan tidaklah dianggap sah cabang-cabang iman yang lain kecuali setelah sahnya hal ini.” (lihat Syarh Muslim [2/88] cet. Dar Ibnul Haitsam)

Syahadat inilah yang kelak akan menyelamatkan seorang hamba di hari kiamat. Maka tidaklah mengherankan jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersemangat untuk mendakwahi pamannya Abu Thalib agar mau mengucapkan kalimat ini sebelum kematiannya. Sa’id bin al-Musayyab meriwayatkan dari ayahnya, beliau menceritakan: Ketika kematian hendak menghampiri Abu Thalib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang kepadanya. Di sana beliau mendapati Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah bin al-Mughirah telah berada di sisinya. Kemudian beliau berkata, “Wahai pamanku. Ucapkanlah laa ilaha illallah; sebuah kalimat yang aku akan bersaksi dengannya untuk membelamu kelak di sisi Allah.” Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah berkata, “Wahai Abu Thalib, apakah kamu membenci agama Abdul Muthallib?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus menawarkan syahadat kepadanya, sedangkan mereka berdua pun terus mengulangi ucapan itu. Sampai akhirnya ucapan terakhir Abu Thalib kepada mereka adalah dia tetap berada di atas agama Abdul Muthallib. Dia enggan mengucapkan laa ilaha illallah… (HR. Bukhari dalam Kitab al-Jana’iz [1360] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [24])

Tentu saja yang dimaksud orang yang bersyahadat dengan sebenarnya adalah orang yang memahami kandungannya. Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersyaratkan ilmu pada diri orang yang mengucapkan syahadat, jika dia memang ingin masuk ke dalam surga. Dari ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Allah, niscaya dia akan masuk ke dalam surga.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Iman [26])

Namun, memahami kandungan syahadat dan mengucapkannya pun belum cukup jika tidak disertai dengan amalan nyata di dalam kehidupan. Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersyaratkan orang yang ingin masuk surga untuk membersihkan dirinya dari syirik. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, niscaya dia masuk ke dalam neraka.” Dan aku -Ibnu Mas’ud- berkata, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia pasti akan masuk surga.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Jana’iz [1238] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [92])

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Syahadat dengan lisan saja tidak cukup. Buktinya adalah kaum munafik juga mempersaksikan keesaan Allah ‘azza wa jalla. Akan tetapi mereka hanya bersaksi dengan lisan mereka. Mereka mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak mereka yakini di dalam hati mereka. Oleh sebab itu ucapan itu tidak bermanfaat bagi mereka…” (lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 23 cet. Dar Tsurayya 1424 H). Ini menunjukkan bahwa mengucapkan syahadat belum bisa menyelamatkan jika tidak dibarengi dengan keyakinan dan dibuktikan dengan amalan. Meskipun demikian, bukan berarti kita boleh sembarangan mencurigai orang. Sebab yang menjadi patokan adalah apa yang tampak secara lahiriah. Adapun urusan batin kita serahkan kepada Allah ta’ala. Marilah, sejenak kita simak kisah Usamah bin Zaid berikut ini…

Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhuma menceritakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim kami untuk bertempur melawan kaum Huraqah. Kami pun menggempur mereka dan berhasil membuat mereka kocar-kacir. Aku bersama seorang Anshar mengikuti salah seorang diantara mereka. Tatkala kami berhasil meringkusnya, tiba-tiba dia mengucapkan laa ilaha illallah. Temanku dari kaum Anshar pun menahan diri, sedangkan aku terus menyerangnya dengan tombakku hingga dia tewas. Pada saat kami pulang, kejadian itu dilaporkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda, “Wahai Usamah! Apakah kamu membunuhnya padahal dia telah mengucapkan laa ilaha illallah?!”. Aku menjawab, “Orang itu hanya ingin cari selamat.” Dalam riwayat lain Usamah menjawab, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya dia mengucapkan kalimat itu karena takut dari tebasan pedang.” Dalam riwayat lain Nabi bertanya, “Apakah kamu membelah dadanya, sehingga bisa mengetahui apakah dia benar-benar mengucapkannya atau tidak?!” Dalam riwayat lain Nabi berkata, “Apa yang akan kamu lakukan dengan laa ilaha illallah apabila kelak ia datang pada hari kiamat?!”. Nabi terus mengulangi ucapan itu sampai-sampai aku berharap seandainya aku belum masuk Islam sebelum hari itu (HR. Bukhari dalam Kitab al-Maghazi [4269] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [96])

Kisah ini menunjukkan kepada kita betapa agung kedudukan kalimat laa ilaha illallah. Apabila seseorang telah mengucapkannya terjagalah darah dan hartanya, kecuali apabila dia melakukan dosa yang sangat besar sehingga menyebabkan dirinya layak untuk diperangi atau ditumpahkan darahnya. Dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi umat manusia sampai mereka mempersaksikan laa ilaha illallah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Apabila mereka telah melakukannya maka mereka telah menjaga dariku darah dan harta mereka, kecuali ada alasan lain yang dibenarkan dalam Islam untuk mengambilnya. Adapun hisab atas mereka itu adalah urusan Allah.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Iman [25] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [22])

Darah seorang muslim haram untuk ditumpahkan kecuali ada sebab yang jelas dan dibenarkan oleh syari’at dalam menumpahkannya. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak halal menumpahkan darah seorang muslim yang bersyahadat laa ilaha illallah dan bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah kecuali dengan salah satu diantara tiga alasan: membalas nyawa dengan nyawa, seorang yang telah menikah namun berzina, dan orang yang meninggalkan agamanya serta memisahkan diri dari jama’ah/persatuan.” (HR. Bukhari dalam Kitab ad-Diyat [6878] dan Muslim dalam Kitab al-Qisamah wal Muharibin wal Qishash wad Diyat [1676]

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘orang yang meninggalkan agamanya serta memisahkan diri dari jama’ah’ maka itu bersifat umum mencakup semua orang yang murtad dari Islam dengan sebab apapun kemurtadannya. Oleh sebab itu wajib membunuhnya jika dia tidak mau kembali kepada Islam. Para ulama mengatakan: Hukum ini juga mencakup setiap orang yang keluar dari jama’ah (persatuan umat) dengan sebab bid’ah, pemberontakan, atau karena tindak kejahatan lain yang dia lakukan. Demikian pula termasuk dalam hal ini adalah kaum Khawarij. Wallahu a’lam.” (Syarh Muslim [6/228])

Seorang khalifah yang lurus, Sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu telah menunjukkan kepada kita keteladanan dan keberanian dalam memerangi orang-orang yang secara terang-terangan menghinakan ajaran Islam dan mengingkari syari’at yang sudah baku. Tatkala sebagian orang arab sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi murtad dan menjadi pengikut nabi palsu -Musailamah al-Kadzdzab dan al-Aswad al-‘Ansi- dan sebagian yang lain masih mengakui kewajiban sholat akan tetapi menolak kewajiban zakat, maka bangkitlah Sahabat Nabi yang mulia ini untuk menumpas pemberontakan mereka.

Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu menceritakan: Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat kemudian Abu Bakar diangkat menjadi khalifah sesudahnya, maka sebagian orang Arab pun kembali ke dalam kekafiran. ‘Umar bin al-Khaththab berkata kepada Abu Bakar, “Bagaimana bisa engkau memerangi orang-orang itu, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan laa ilaha illallah. Barangsiapa yang mengucapkan laa ilaha illallah maka terjaga harta dan nyawanya kecuali ada alasan yang benar untuk mengambilnya. Adapun hisabnya adalah urusan Allah.” Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku pasti akan memerangi orang-orang yang membeda-bedakan antara sholat dengan zakat, karena zakat adalah kewajiban atas harta. Demi Allah, seandainya mereka menolak menyerahkan kepadaku seutas tali yang dahulu biasa mereka serahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -di masa beliau masih hidup- niscaya aku akan memerangi mereka karena penolakan itu.” ‘Umar bin al-Khaththab berkata, “Demi Allah, tidaklah aku melihatnya kecuali Allah ‘azza wa jalla telah melapangkan dada Abu Bakar untuk berperang. Sehingga aku pun mengetahui bahwa tindakan beliau adalah benar.” (HR. Bukhari dalam Kitab az-Zakah [1399] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [20])


Artikel asli: http://abumushlih.com/syahadat-laa-ilaha-illallah.html/